SELALU KLIK JUDUL SEBELUM BACA YEH


Minggu, 10 Agustus 2014

#Cerpen - Setengah Hati Untuk Arina

Setengah Hati Untuk Arina.

          Saat itu hujan membasahi pekarangan rumah saya. Saya menunggu panggilan dari Rizal, kekasih yang paling saya sayangi. Dia berjanji untuk pergi kerumah saya dan mengantar saya jalan-jalan di Taman Bunga Luvina. Disana ada bunga kesukaan saya, Melati. Saya masih berada di kamar, memperhatikan keluar jendela, sambil menggengam handphone saya. Saya sudah berada di kamar selama 2 jam, memakai wewangian, dan merias wajah saya, serta memakai baju buatan saya dan Rizal, yaitu baju T-shirt bergambar setengah hati. Kita berdua punya masing-masing satu baju. Dan kita sering memakai baju ini saat kita berjalan berdua. Karena saat kita berdua, gambar setengah hati ini akan menyatu dengan gambar setengah hati milik Rizal, lalu akan membentuk hati yang sempurna. Dia pernah bilang,

“Ini melambangkan kesetiaan. Kalo ada orang lain yang punya baju setengah hati ini, dan dia cocokin ke setengah hati punya kamu, dia gak akan membentuk hati sempurna. Karena pasangan setengah hati kamu, adalah setengah hati aku. Kemanapun kamu pergi bawa setengah hati kamu, pasangannya akan selalu setengah hati aku. Aku cinta sama kamu.”

Baju ini adalah hadiah anniversary 5 tahun kita berdua. Kita udah pacaran dari zaman SMA kelas 2. Dia adalah lelaki manis yang sedang duduk di kursinya, mengangkat tangannya untuk mengajukan diri sebagai ketua kelas, dan saya wakil dia, lalu dia menembak saya di depan kelas dengan tulus. Dan kami masih bertahan hingga sekarang berjalan 7 tahun.

Kami berdua sudah pergi kemanapun kami ingin pergi berdua. Mall, kolam renang, taman bermain, tempat makan pinggir jalan, tempat wisata diluar daerah, dan jujur, dia adalah lelaki paling romantis yang pernah saya temukan. Tapi ada satu tempat yang belum kami kunjungi, tempat yang saya idamkan untuk bisa menghabiskan hasrat ingin berdua bersama dia. yaitu Taman Bunga Luvina. Saya membayangkan banyak hal yang belum pasti terjadi, seperti saat jika nanti dia mengambil setangkai melati, lalu memasangkannya di telinga saya. Atau mungkin saja, mungkin mungkin mungkin, mungkin dia akan melamar saya ditempat itu. Tempat yang saya idam-idamkan menjadi tempat dia melamar saya, dan menikahi saya. Oh tuhan, aku ingin sekali waktu berjalan cepat. Aku ingin segera bertemu dengannya.

Handphone saya berdering. Saya sangat antusias sekali ingin mengangkatnya, berharap-harap jika Rizal-lah yang menelepon saya. Saya mencoba melihat namanya, dan bukan Rizal, tetapi Andreas. Dia mantan saya yang paling menjengkelkan saya. Dia masih mengejar-ngejar saya, padahal saya sudah punya Rizal yang saya cintai setengah mati. Saya biarkan saja handphone itu bordering. Andreas adalah teman Rizal dari kecil. Saya sempat berhubungan dengan Andreas. Namun sifatnya yang belum dewasa dan masih kekanak-kanakan membuat saya tidak nyaman bersama dia. lalu saya sering curhat dengan Rizal. Rizal sering menanggapi curhatan saya. Dan entah perasaan ini datang dari mana, seiring curhatan saya ke Rizal, saya mencintai dia. Dan kemudian, Andreas memutuskan hubungan kita. Saya akhirnya mulai berhubungan dengan Rizal dan akhirnya pun Rizal menyatakan cintanya juga ke saya. Lalu entah mengapa, Andreas kini kembali mengejar cinta saya. Padahal Rizal adalah temannya sendiri. Saya mengetahui kalau Rizal dan Andreas adalah teman sepermainan sejak kecil. Rizal yang memberitahu saya.

Saya berjalan mondar-mandir di kamar saya. Menunggu panggilan handphone dari Rizal. Saya memperhatikan hujan semakin deras. Saya berharap Rizal baik-baik saja. Tidak apa kalau kami berdua tak jadi ke taman bunga karena hujan ini. Mungkin esok hari sudah cerah dan kami berdua bisa ke Taman Bunga Luvina, berdua.

Handphone saya berdering lagi. Saya mengharapkan Rizal yang menelepon saya. Namun lagi-lagi Andreas yang menelepon. Ada apa dengannya ? Kenapa dia berusaha keras untuk mencoba menghubungi saya ? Apakah hujan seperti ini adalah saat yang tepat untuk ‘modus’ ke saya? Karena kesal, saya reject panggilan dari dia. Saya juga melihat sms masuk bertuliskan nama Andreas. 5 inbox message. Kenapa dia sangat berusaha mengejar-ngejar saya ? ada apa dengannya ?!

Sebelum ini, Andreas juga sering seperti sekarang ini. mencoba menghubungi saya, mengirim sms ke saya, menanyakan kabar saya disini, entah hal itu membuat saya merasa jijik terhadap dia. Saya sudah milik Rizal. Kenapa dia masih nggak bisa ‘move on’ dari saya ? padahal saya dengar, Andreas cukup digemari di kalangan wanita di sekolah saya dulu. Wajahnya memang tampan, tapi tak setampan Rizal. Dan kelakuannya tak sedewasa Rizal. Ada satu hari, dimana Andreas pernah menunggu hujan-hujanan di depan rumah saya, mengharapkan saya untuk membalas smsnya yang pada akhirnya bertulis, “maafin aku, Arina.”. tentu saja, handphone-nya rusak akibat terkena air hujan. Dan akhirnya pun, Ayah saya mengusir dia secara paksa. Sejak itu, dia membuat saya tak ingin berhubungan apa-apa lagi dengan dia.

Saya semakin cemas menunggu kabar dari Rizal. Mondar-mandir saya semakin cepat. Tangan saya mulai gelisah. Syukurlah hujan sudah mereda. Namun handphone saya masih belum terdapat panggilan dari Rizal. Hanya berisi 7 new inbox message dari Andreas. Orang yang saya tak harapkan untuk menghubungi saya. Mungkin saja Rizal sedang terkena macet dijalan, atau karena hujan, handphonenya tak memiliki sinyal untuk menghubungi saya. Dia pasti akan menghubungi saya. Pasti. Pasti.

Beberapa saat kemudian, akhirnya Rizal menghubungi saya. Akhirnya ! akhirnya ! yes ! dia menghubungi saya. Saya berjingkrakan di tempat tidur saya. Yes ! akhirnya dia menghubungi saya. Bukan Andreas. Saya mencoba mengangkat panggilan dari dia.

“Halo, Rizal. Kamu dimana?”
          “Halo, Arina. Ini aku, Andreas.” Suaranya pun memang Andreas. Apa-apaan ini? kenapa bukan Rizal ?!
          “Eh apa-apaan sih lu yas ? Mana Rizal ? Kok handphone dia bisa sama lu ?! Gue mau ngomong sama Rizal !”
          “Rina ! Rizal kecelakaan. Dari tadi gue coba hubungin lu rin. Tapi lo gak ngangkat panggilan dari gua. Gua juga sms lu rin. Tapi lo gak bales-bales sms gua. Padahal di sms itu gue udah nyuruh lu buat bales.”
          Rizal ? Kecelakaan ? gimana bisa ? dia harusnya dateng kerumah saya…
          “Halo, Rina ? Rina ? lu masih disitu kan ?”
          Saya langsung menutup panggilan dari Andreas. Saya mencoba membuka sms dari Andreas. Mata saya sudah tak bisa lagi menahan air mata. 7 new inbox itu berisi sms yang sama.
          “Rina ! plis jawab panggilan dari gua ! Rizal kecelakaan ! Mobil dia ditabrak bus di jalan. Maafin gue rin ! Dia tadinya ngajak gue buat ketemu sama lo. Biar kita bisa baikan. Gue bawa motor gue, dan dia bawa mobilnya. Tapi, mobil dia kecelakaan Rin.. sekarang dia ada di Rumah Sakit Mitra Persada. Gue sekarang udah disana. Plis bales sms ini rin ! angkat panggilan dari gua juga ! – Andreas”
          Disitu, dikamar saya, saya langsung jatuh dalam ketidak-percayaan. Hati saya langsung terkoyak melihat sms itu. Seperti setengah hati saya pun, juga ikut menangis mengetahuinya. Saya langsung menangis di lantai kamar saya. Meratapi keadaan terakhir Rizal. Kenapa tuhan ? kenapa kau beri dia bencana seperti ini, tuhan.
          “Rina ? kenapa kamu nangis ?” Ibu saya masuk kedalam kamar saya sambil memegangi bahu saya.
          “Rizal kecelakaan, bu.” Saya langsung memeluk ibu saya. Menangis hebat di pelukan ibu. Ibu saya memeluk saya erat.
          “Ya tuhan. Kamu tenang dulu, Arina. Kamu tenang dulu ya.” Ibu membelai rambut saya. Menenangkan saya dengan pelukannya. Namun saya semakin sedih. Kenapa harus Rizal yang mengalami kecelakaan ? kenapa ?

          Saya dan ibu saya langsung menuju Rumah Sakit Mitra Persada. Ibu saya harus menelepon Ayah saya yang sedang bekerja di kantornya. Saya langsung berlari mencari kamar rawat Rizal. Saya seperti orang kebingungan yang tak punya arah dan tujuan. Hanya berlari, menangis, dan juga memanggil-manggil nama “Rizal.”.
          “Rina !” Itu suara Andreas.
          “Andreas ! dimana Rizal ! dimana dia?” Tanya saya ke Andreas.
          “Sekarang dia lagi di UGD, rin. Kata dokter tadi, dia mengalami pendarahan di dadanya. Sama retak tulang dada, akibat benturan sama setirnya.” Kata Andreas. Saya langsung menangis hebat.
          “Ya tuhan ! Rizal !!! Rizal !!!” Saya jatuh di pelukan Andreas.
          “Maafin gue Rin. Rizal dateng kerumah gue. Dia tau masalah kita berdua. Dan dia mau baikin hubungan kita. Dia pergi sama mobilnya dan gue naik motor sendiri. Mungkin dia pengen banget cepet-cepet kerumah lu. Akhirnya dia ngebut dan nyalip-nyalip mobil lain. Tapi dia gak bisa liat Bus dari arah berlawanan. Dan gue Cuma bisa teriak nama dia. gabisa berhentiin kecelakaan itu. Maafin gue rina.” Kata Andreas.
          Dokter pun keluar. Dia langsung menghampiri kami berdua.
          “Disini ada yang namanya Arina sama Andreas?”
          “Saya sendiri dok. Saya Arina ! dia Andreas.” Ucap saya ke dokter.
          “Ada apa, dok? Gimana Rizal?” Tanya Andreas.
          “Dia ingin ketemu sama kamu berdua.” Kata Dokter.
          Kami berdua pun langsung masuk ke ruangan Rizal. terlihat luka-luka diwajahnya. Baju setengah hatinya pun penuh darah. Dia sangat meronta kesakitan di tempat tidurnya.
          “Rizal ! Rizal ! Aku disini ! Aku disini !”
          “A.. Rina.. maafin aku..” Kata Rizal tersendat-sendat.
          “Enggak Rizal. Enggak. Kamu gak perlu minta maaf.”
          “Enggak rin.. Aku.. Minta maaf.. Aku gabisa nepatin… Janji aku sama kamu… Aku… gabisa bawa kamu… ke taman bunga itu… maafin aku banget, rin.” Kata dia sambil batuk darah.
          “Enggak Rizal ! Kamu harus tetap hidup, zal ! Zal !” Saya langsung menangis di samping dia.
          “Zal. Maafin gue. Kalo gue gak berantem sama Rina, pasti lu gak akan kayak gini.” Kata Andreas.
          “Nggak yas… Ini semua… udah terjadi… Rina…?” Rizal memegang tangan saya.
          “Apa zal? Kenapa?”
          “Aku mohon… Andreas… nggak salah… dia nggak salah… aku… yang nyuruh dia… hubungin kamu terus… dia tulus… mau minta maaf… sama kamu… aku mohon rin… maafin dia… dia sahabat aku, rin…” Kata Rizal.
          “Iya Rizal. iya. Aku udah maafin Andreas. Aku minta maaf yas.. Aku salah.. Harusnya aku angkat telepon kamu dari tadi.” Kata saya ke Andreas.
          “Yas… gua minta sama lu…” Kata Rizal.
          “Apa zal? Apa? pasti gue jalanin permintaan lu.”
          “Tolong… Jaga Arina demi gue… Jagain dia… Jangan biarin… dia tangisin… gue... Setengah hati gue… bakal tetap selamanya… sama setengah… hati dia… dan elo… gua mau elo… mulai sekarang… jadi penjaga setengah hati dia… pastiin itu demi gue yas…”
          “Iya zal. Gua janji sama lu. Gua bakal jagain dia zal..”
          “Gue percaya sama lu… yas… setengah hati gue… sekarang punya lo yas… hanya elu… yang pantes jagain Arina…” Kata Rizal.
          “Zal. Kamu jangan pergi, zal. Jangan pergi…” Saya pun menangis di tempat tidurnya.
          “Rina… Percaya sama Andreas… Aku mohon… kamu jangan sedih… sekarang tugas aku udah selesai…. Kalian berdua udah baikan… sekarang aku bisa tenang rin… aku mohon jangan lagi… jangan lagi berantem… sama Andreas…” Kata Rizal.
          “Iya zal. Tapi kamu jangan pergi dulu… aku cinta sama kamu…”
          “Aku lebih cinta sama kamu rin… maafin aku rin… maaf…” Kata Rizal. Denyut nadinya pun sudah berhenti mengalir. Jantungnya yang berdetak pun juga ikut berhenti. Dia telah menghembuskan nafas terakhir dia.
          “Zal ! Zal ! Lo jangan pergi Zal !” Kata Andreas.
          “Rizal !!!” Saya pun langsung menangis hebat. Saya meneriakkan namanya berkali-kali. Andai saya bisa kembali ke masa-masa sebelumnya. Dimana saya percaya Andreas. Dan Rizal takkan mengkhawatirkan saya dan dia. hingga nyawanya pun selamat. Namun, semuanya sudah terjadi. Saya hanya bisa menangis di tubuhnya yang sudah terbaring kaku.

          Saya tak menghadiri pemakaman Rizal. Saya mengunci diri saya di kamar. Terlarut dalam kesedihan kehilangan orang yang saya sangat cintai. Saya begitu mencintainya. Saya masih ingat kata terakhirnya, yaitu “maaf.” Tapi dia tak perlu meminta maaf. Ini semua salah saya. Saya yang dari awal bersalah. Saya dan saya !
          “Rina ! kamu makan dong. Ibu mohon nak.” Kata ibu saya dari luar pintu. terdengar tangisan ibu saya.
          Saya hanya terdiam. Meratapi jendela saya. Meneteskan air mata saya. Melihat keluar jendela yang kembali hujan deras. Bahkan alam pun menangisi kepergian Rizal.
          Handphone saya berdering lagi. Namun saya mengacuhkan dering handphone saya. Tapi sekilas, saya teringat kesalahan saya sebelumnya. Yaitu mengacuhkan orang yang mencoba menghubungi saya. Saya tak mau lagi mengulangi kesalahan saya mengacuhkan orang yang menghubungi saya. Saya tak mau lagi ada orang lain yang harus bernasib seperti Rizal. Saya melihat handphone saya, dan tertulis nama Andreas.
          “Halo?”
          “Rina. Aku didepan rumah kamu.”
          Lagi-lagi dia. pasti handphonenya akan rusak lagi. Saya langsung bergegas keluar rumah sebelum Ayah saya mengusir dia lagi. Terlihat dia berdiri diluar pagar saya. Menghadap pintu depan rumah saya. Saya langsung mengambil payung dan menjemput dia masuk kedalam rumah.
          “Kenapa lu suka banget berdiri hujan-hujanan di depan rumah gue sih?”
          “Maaf rin. gue kesini Cuma mau ngasih lu barang yang Rizal pengen gua buat kasihin ke lu.” Andreas merogoh kantung celananya. Rambutnya basah dan dia masih memakai baju hitam pemakaman.
          “Maaf ya gue gak bisa ke pemakaman Ri…”
          “Iya gapapa. Gue ngerti kok. Semua orang disana juga ngerti kok. Lu sayang banget sama dia.” Andreas tersenyum. Dia mengeluarkan sesuatu dari kantungnya. “Ini rin.”
          Sebuah kotak cincin. Andreas membukanya dan terdapat cincin didalamnya. Ya tuhan.. Rizal berniat…
          “Pas di rumah sakit, dia ngasih ini ke gue. Dia bilang, gue lebih berhak ngasih ini ke lu. Dia berniat, bawa kita ke taman bunga yang lu mau, trus disana, kita baikan, dan dia mau ngelamar lu dengan gue sebagai saksinya.” Kata Andreas.
          Saya kembali menangis sambil memegangi kotak cincin itu. Rizal berniat melamar  saya di taman bunga. Persis seperti apa yang saya harapkan.
          “Rin.. lo tenang ya… Rizal Cuma mau gua ngasih ini ke lo. Gua tau. Lu cinta banget sama dia. lu sayang banget sama dia. Dan gue juga udah ngelepas lu ke Rizal. karena dia lebih bisa jagain lu daripada gua. Tapi dia gak mau kita slack. Dia mau kita tetep baik-baikan. Tetep temenan. Itu yang dia mau. Gue gak akan maksain lu kok rin.” Kata Andreas. “Gue pergi dulu ya rin.”
          Saya langsung memegang tangan Andreas. Berharap dia jangan pergi. Saya tak mau lagi seseorang pergi meninggalkan saya. Cukup Rizal seorang. Jangan Andreas. Saya langsung memeluk Andreas.
          “Makasih ya lu udah mau nganterin ini ke gua. dan makasih juga udah jujur sama gue.. maafin gue yas. Gue salah besar nilai lu.” Saya menyesal sekali. Sebenarnya selama ini dia selalu memperhatikan saya. Dia hanya memandangi saya dan Rizal saat berdua. Dia berusaha berbaikan dengan saya. Tapi saya malah menganggapnya yang tidak-tidak.
          “Iya rin. makasih juga udah maafin gua.” Kata Andreas. Dia membelai rambut saya dengan lembut. Saya pun sempat teringat belaian dari Rizal.
          Mungkin saya salah. Saya sangat mencintai Rizal hingga saya benar-benar tak ingin kehilangan dia dan melupakan orang-orang yang pernah berhubungan dengan saya, termasuk Andreas. Karena saya cemas jikalau kedatangan dia, akan merusak hubungan saya dengan Rizal. Dan saya salah besar disitu. Mungkin saya benar. Cinta saya ke Rizal membutakan mata saya, terhadap orang-orang yang lebih menyayangi saya, dan ingin sekali menghubungi saya, seperti Andreas. Bahkan Rizal pun yang mencintai saya, sangat ingin saya dan Andreas kembali berteman. Karena dia adalah sahabat Andreas, juga pacar saya. Dia ingin saya dan Andreas tetap berteman meskipun dia tau, saya adalah mantan kekasih Andreas. Dan Rizal benar. Namun dia harus berkorban nyawa demi ini.
          Dan hujan pun mereda kembali. Saya memeluk Andreas erat. Seolah tak membiarkan hujan membawa orang yang saya sayangi pergi bersamanya, seperti Rizal. 
         
          THE END.
Authors by: Ardhika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Plz leave a like & comment :D