Pohon Di Hari Itu.
Saya
sedang mencoba menulis sebuah cerita dengan laptop saya untuk tugas Bahasa
Indonesia di teras rumah saya. Rumah saya ada di sebuah jalan di suatu
perumahan di Bekasi. Bisa dibilang, keadaan saya saat ini sangat ‘mumet’. Saya
tak memiliki inspirasi apa-apa di otak saya ini. Padahal otak saya sudah
menyerap soto daging buatan Ibu saya tadi siang. Namun serapan energinya masih
belum bisa menggerakan otak saya untuk berfikir membuat sebuah cerita yang
bagus.
Saya
membuka aplikasi ‘skype’ saya untuk melihat apakah ada teman
yang sedang online
– hitung-hitung menunggu inspirasi datang atau mencontek karya dari teman.
Ternyata banyak juga yang online. Saya mencoba video call dengan Alex. Teman
satu kelas saya. Dia cukup pintar dalam membuat cerita.
“Lex !
Sempet-sempetnya lu online. Tugas Bahasa udah kelar?”
“Udah lah,
bay. Gua liat-liat muka lu kayak orang yang lagi susah mikir. Bener gak tuh?”
Kata Alex mengetahui perkara saya.
“Duh dari
tadi gua gak ada inspirasi mau buat cerita, lex. Lu enak otak lu encer kayak
Cappucinno cincau.”
“Mana cer?
Nih gini aja, kalo lu gabisa dapet inspirasi dari otak lu, liat sekeliling lu.
Pasti ada satu benda yang bersejarah dan punya cerita bay.”
“Liat
sekeliling gua ? teras rumah gua gak ada yang bisa dijadiin cerita, lex.”
“Emang
kata ‘sekeliling’ itu Cuma sepandangan lu aja ? banyak hal bay yang bisa lu
jadiin cerita. Eh gua off yak. Nyokap nyuruh beliin telor di warung. Good luck,
bay.”
“Eh lex.”
(Alexander Putra is Off now.)
Saya
langsung mencoba melihat ke segala tempat. Saya hanya melihat kompressor AC,
rak sepatu dan sandal, kain pel bertuliskan ‘welcome’, hanya hal-hal tidak
penting yang saya temukan. Bagaimana bisa saya membuat cerita dari hal-hal
seperti itu? Akhirnya, saya menyenderkan kepala saya di kursi kayu di teras
rumah saya. Saya mendongakkan kepala, lalu membayangkan sesuatu di langit.
Kursi kayu
terbuat dari kayu, kayu terbuat dari pohon, pohon, 11 tahun lalu, saya teringat
satu hal dari pohon. Saya mencoba membuka Microsoft Word dan mulai menuangkan
pikiran saya.
Ini semua berawal dari 11 tahun lalu. Saya masihlah
seorang bocah kecil, polos, dan tak tahu apa-apa. Pekerjaan saya tidak seperti
sekarang ini, membuat tugas Bahasa, atau apalah. Pekerjaan saya saat itu begitu
simpel. Yaitu bermain. Dan ada satu orang yang menjadi teman sepermainan saya.
Namanya Mila. Dia anak perempuan yang tinggal di samping rumah saya, alias dia
tetangga saya. Kami berdua pertama kali bertemu saat orangtuanya pindah ke
perumahan kami, lalu orangtuanya dan dia datang kerumah saya untuk
bersilahturahmi. Saya masih ingat, saya dan dia langsung cocok dan langsung
bermain-main di depan rumah. Kami bermain kejar-kejaran layaknya bocah kecil,
kami melihat ikan di got walau setelah itu kami dimarahi orangtua kami, dan
kami sering berjalan-jalan ke lahan persawahan didepan perumahan kami, itupun
kami harus menunggu orangtua kami tak melihat kami berdua. Satu tempat favorit
kita berdua, yaitu sebuah pohon jambu yang
berdiri sendiri ditengah persawahan. Kami sering berada disana, bermain
kejar-kejaran lagi di sawah, lalu beristirahat di pohon, memakan jambu dari
pohon walaupun kami sering mendapati jambu yang tak matang. Namun kami bahagia
saat itu, sangat bahagia.
Saat
saya sudah masuk kelas 1 SD, Mila juga bersekolah di sekolah yang sama dengan
saya. Dan tentu saja, kita berdua bermain lagi. Kejar-kejaran lagi,
bercanda-canda, saat itu dia adalah perempuan yang masih sangat lugu – saya pun
juga demikian. Hingga sepulang sekolah pun, kami bermain lagi, di tempat biasa
kami bermain. Di pohon itu.
Namun
suatu hari, Mila tidak masuk sekolah. Dia sakit. Saya menjenguknya setelah
sepulang sekolah. Memang benar, dia sakit demam. Saya menungguinya dirumahnya,
menghibur dia yang sedang terbaring lemah di tempat tidurnya, seperti tak ada
lagi teman lain yang bisa saya ajak main, selain dia. Namun beberapa hari
kemudian, Mila sembuh dan kami bisa bermain lagi.
Waktu
terus berjalan, dan saya semakin besar. Begitu pula Mila. Di kelas 4 SD, Mila
sudah tumbuh berbeda. Rambutnya yang dulu pendek, kini telah panjang dan lurus.
Wajahnya yang dulu lugu, kini sudah mulai seperti gadis remaja. Perubahan fisik
Mila juga membuatnya dilirik anak cowok lain. Terkadang saya cemburu melihat
dia sedang digoda oleh cowok-cowok itu.
Namun
kami tetap seperti biasa. Bermain setelah sepulang sekolah, pergi ke pohon
seperti biasa, melihat langit berdua dibawah pohon jambu itu.
“Ciee
Mila sekarang udah ada yang deketin.” Kata saya ke Mila bermaksud menggodanya
juga.
“Ya
gitu deh bi. Emang kenapa bi? Cemburu yaa?” Mila tertawa sambil menatap saya.
“Huu
apaan sih mil? Aku tuh temen kamu dari kecil.” Saya menahan rasa salah tingkah
saya,
“Ya
siapa tau aja kamu suka juga sama aku.” Mila kembali tertawa terbahak-bahak.
Wajah saya pun memerah. Saya hanya terdiam. “Kok diem, bi? Ciee Abi salah
tingkah. Haha.”
“Hah?
Siapa yang salah tingkah? Aku diem ngeliatin ini tuh. Semut.” Ujar saya
mengeles dari Mila.
“Huu
alesan.” Kata Mila. “Udah lama juga ya. Kita sering kesini. Pohonnya juga makin
tinggi. Sawahnya juga makin luas.”
“Iya
mil.” Ucap saya sambil memandangi sekitar. “Tapi aku gak bosen kok mil. Gak
akan bosen. Duduk disini, berdua, sama kamu terus.”
“Kenapa
kita harus bosen ?” Kata Mila sambil menatap saya tersenyum. Senyum itu membuat
saya langsung sadar. Saya memiliki perasaan terhadap Mila. Tapi Mila teman saya
dari kecil. Saya tak mungkin bisa jadi pacar atau siapapun itu. Andai pun saya
suka dengan Mila, belum tentu Mila juga merasakan perasaan yang sama dengan
saya.
Dan
itu terus berlanjut. Hingga kami kelas 6 SD. Satu hari, saya terkejut.
Benar-benar terkejut. Saya mendengar kabar dari teman lain kalau, Mila pacaran
dengan murid cowok di kelasnya. Namanya Irfan. Saya pun langsung mencari
kepastian dari Mila. Dan saat kami kembali ke pohon itu, ternyata memang benar.
Mila mengakuinya. Setelah itu, saya hanya terdiam di bawah pohon bersama dia.
“Kenapa
dari tadi kamu diem, bi ?” Tanya Mila ke saya. “Kita main kejar-kejaran lagi
aja yuk ? yang kena, jaga. Kayak dulu lagi. Haha.” Kata Mila. Saya hanya
terdiam. Memandang ke bawah.
“Bi…?
Kamu kenapa sih ?” Tanya Mila lagi. Kalau saya bisa, saya ingin berteriak, “Aku
cemburu mil ! Aku cemburu ! Aku suka sama kamu ! Tapi aku takut nyatainnya !”
Andai saya bisa seperti itu. Tapi tak mungkin. Akhirnya beberapa saat kemudian,
Mila pergi dari pohon, meninggalkan saya duduk sendirian dibawah pohon itu.
Saya hanya bisa memandangi rambutnya yang berkibas ditiup angin, pergi menjauhi
saya.
Lalu
datang rasa menyesal. Harusnya saya tak seperti itu. Harusnya saya tetap
menjadi teman dia, tetap bermain bersama dia, seperti biasanya. Bukannya saya
terlarut dalam kecemburuan seperti ini. Saya langsung berlari menuju
kerumahnya. Memanggil-manggil namanya. Namun hanya ibunya yang keluar.
“Maaf
tante, Mila-nya ada?”
“Duh
nak Abiyyu. Umm tadi Mila pulang kerumah sambil nangis. Terus dia masuk
kekamarnya, ngunci diri. Tante tanyain, tapi Cuma kedengeran suara nangis
gitu.” Kata Ibunya Mila.
“Oh
ya ampun. Tante, kalo Mila keluar, tolong sampein ke Mila, saya minta maaf.
Maaf tante, Mila nangis gara-gara saya. Saya minta maaf tante. Dia ngajak saya
main, tapi saya diemin dia. saya nyesel bu. saya minta maaf.”
“Iya
gapapa nak Abiyyu. Yaudah nanti tante sampein ke Mila kok.”
“Makasih
banyak tante.” Saya langsung pulang kerumah dan begitulah. Saya tak enak makan,
saya hanya duduk di kasur kamar saya. Saya memikirkan Mila.
Esoknya
di sekolah, saya langsung menemui Mila di kelasnya. Saya mengucapkan minta maaf
ke dia, di depan kelasnya. Namun dia malah pergi ke luar kelas dengan temannya,
dan saya hanya mendapat teriakan ‘woo’ dari teman-temannya.
Lalu,
sekolah kami mengadakan Pariwisata ke kolam renang waterbom setelah ujian
Nasional. Saya antusias sekali. Terlebih saya satu bus dengan Mila. Namun Mila
duduk dengan Irfan. Saya hanya bisa duduk di belakang. Memperhatikan dia dari
kejauhan.
Di
kolam renang, dia selalu berdua dengan Irfan. Irfan, Irfan dan Irfan. Tak ada
kesempatan bagi saya untuk mendekati dia. kalaupun di hari dimana saya
mengacuhkan dia waktu itu di pohon itu tidak terjadi, saya pasti sekarang sudah
bermain bersama dia, bermain seluncuran, bermain siram-siraman air, namun
sekali lagi, saya hanya bisa memperhatikan dia dari kejauhan. Memperhatikan dia
yang sedang bermain air bersama Irfan.
Sepulang
dari kolam renang, langit menurunkan hujannya. Di bus, saya hanya bisa
memperhatikan jalanan, tetesan air hujan yang turun meluncur di jendela bus,
saya mengalami perasaan yang sama sekali membuat saya tak nyaman. Dan Mila, dia
disana, bersama Irfan. Irfan lagi, lalu Irfan lagi.
Lalu
sesampainya di sekolah, Mila dijemput ayahnya dengan mobil.
“Nak
Abiyyu. Bareng sini sama om. ibu kamu udah nitip kok.” Kata Ayahnya Mila.
“Makasih
banyak om.” Saya langsung masuk kedalam mobil. Disana, Mila duduk di belakang
memandangi jendela, seolah dia tak mau memandang saya.
Beberapa
saat kemudian, mobil berjalan. Sepanjang perjalanan, saya dan Mila hanya
terdiam. Saya tak berani memandang Mila. Karena itu hanya membuat saya semakin
menyesal. Lalu, mobil berhenti.
“Sebentar
ya. Om mau ngisi bensin dulu sekaligus ke kamar mandi. jagain Mila, nak
Abiyyu.” Ayahnya Mila keluar dari mobil lalu mengurus bensin dan pergi ke kamar
mandi.
Di
dalam mobil, suasananya hening. Benar-benar hening. Saya dan Mila masih terdiam.
Tak ada satu pun yang berkata. Hingga akhirnya, saya sudah tak bisa menahan
diri lagi.
“Aku
nyesel Mila. Nyesel banget.” Ucap saya. “Aku udah bodoh banget. Harusnya aku
gak kayak gitu waktu kamu ngajak main di pohon itu. Aku terlalu kemakan sama
rasa cemburu ke Irfan. Aku terlalu marah sama diri aku sendiri. Harusnya
biarpun kamu pacaran sama Irfan, aku tetep ada disamping kamu, main sama kamu,
lari-larian di sawah, harusnya.” Kata saya ke Mila. Mila menatap saya.
“Harusnya aku gak nyakitin perasaan kamu. Aku nyesel banget sampe sekarang. Aku
bakal beri semuanya, apapun yang aku punya, bakal aku kasih ke Tuhan, agar dia
mau puter mundur waktunya, ke waktu dimana aku diemin kamu. Tapi aku gabisa.
Aku gabisa mil. Aku pengecut. Aku bahkan dari dulu gak bisa bilang ke kamu kalo
aku sayang sama kamu.”
Mila
menatap saya dengan tatapan terkejut. Dia seperti tak menyangka. “Kamu serius,
bi ?” Kata Mila. Saya pun menatap matanya untuk pertama kalinya sejak kejadian
di pohon itu. “Dari dulu bi ? Dari dulu ? Aku juga suka sama kamu dari dulu bi.
Dari dulu. Setiap kali kita, dibawah pohon, berdua, aku ngerasain, kalo aku
gamau pergi dari tempat itu. Tapi aku perempuan. Aku gabisa nyatain perasaan
aku ke kamu. Aku Cuma mau main terus bi.. Main terus sama kamu. Sama kamu bi..
Tapi kamu gak pernah nyatain itu. Sampe Irfan datang. Dia cowok yang ideal,
disukai cewek-cewek, tapi dia nembak aku. Aku nerima dia dengan terpaksa.
Karena hati aku udah buat kamu, bi.”
Di
mobil itu, saya benar-benar menyesal. Harusnya, kalau saya memang sayang dengan
Mila, saya harus menyatakannya, biarpun Mila akan menolak saya, tapi yang
penting saya sudah menyatakannya ke Mila. Bukannya saya takut seperti waktu
itu, takut jika Mila akan menolak saya, takut jika Mila akan berubah dan
menjauhi saya. Dan di mobil itu, kita berdua membuka semua kartu kita. Hal-hal
yang kita simpan rapat di kotak rahasia hati kita. Lalu Ayahnya Mila masuk ke
mobil.
“Tuh.
Akhirnya kalian baikan juga kan. Gitu dong.” Kata Ayahnya Mila
“Apaan
sih ayah.. haha.” Mila tertawa sambil menatap saya.
“Orang
kita gak berantem kok om.” Kata saya ke Ayahnya Mila. Ayahnya hanya tertawa.
Dan kami pun pulang kerumah masing-masing.
Esoknya
di sekolah, saya mendengar kabar kalau Irfan memutuskan Mila. Bukan Mila yang
memutuskannya. Irfan sudah bosan dengan Mila, dan mendapatkan perempuan lain.
Dan sepulang sekolah, kami kembali berdua di pohon jambu di tengah sawah,
seperti biasa. Dia mencurahkan segala curhatannya ke saya tentang Irfan.
“Kata
dia sih, dia bosen sama aku. Aku gitu-gitu aja. Sekarang dia udah punya
perempuan lain sih di kelas lain.” Curhat Mila ke saya.
“Gitu-gitu
aja? Alesan basi. Gaada alesan putus kayak gitu. Dia Cuma beralesan karena dia
udah punya cewek lain yang bisa dia sayang.” Kata saya.
“Bener
juga sih, bi.” Kata Mila. “Bi…?” Mila menatap saya. saya membalas tatapannya
juga. “Aku sayang kamu, bi.”
“Aku
juga sayang sama kamu, mil.” Ucap saya ke dia. Dan dihari itu, kami hanya duduk
berdua, melihat langit sore, matahari terbenam di pematang sawah, lalu pulang
kerumah.
Setelah
lulus SD, di hari minggu, saat makan siang, saya mendapat kabar mengejutkan
dari ayah saya.
“Ayahnya
Mila mendapat pekerjaan di Surabaya. Dia bilang, keluarganya bakal tinggal juga
disana.” Kata Ayah saya.
“Keluarganya
? Berarti Mila juga ?” Tanya saya kaget.
“Iya
bi. Mila juga katanya bakal sekolah disana. Mereka udah berangkat kok tadi
pagi.”
“Berangkat
? Tadi pagi ?!”
“Iya.
Mereka berangkat pagi lah. Biar gak kena macet. Ayah sama Ibu sempet keluar
ngucapin salam ke mereka. Tapi ayah gak sempet bangunin kamu. pules banget sih
tidurnya. Haha. Emang kenapa sih bi ? kamu kok jadi, kaget gitu.” Kata Ayah
saya.
“Ya
teman kecil dia kan udah gak tinggal disini lagi yah. Pasti dia kecewa lah.”
Kata Ibu saya.
“Bu,
yah, aku keluar dulu.” Saya langsung berlari keluar rumah dan menuju ke rumah
Mila.
Ternyata
benar. Rumah Mila sudah kosong. Sudah tak ada lagi tanda-tanda orang yang
tinggal disana. Saya langsung terduduk jongkok di depan rumahnya. Putus asa.
Baru saja saya dan Mila berhubungan. Sekarang Mila meninggalkan saya, tanpa
mengucapkan selamat tinggal ke saya. Saya meneteskan air mata didepan rumahnya.
Saya memegang gerbang rumahnya. Menyebut nama dia.
Namun
saya menemukan sebuah kertas tertaruh di sela-sela fiber gerbang. Kertas itu
bertuliskan “untuk Bi..”. Pasti ini Mila. Karena saya malas kembali ke rumah,
saya membawa kertas itu ke pohon jambu di tengah sawah.
“Bi.
Maaf ya. Aku harusnya ngucapin selamat tinggal dulu waktu malem sebelum aku
berangkat. Tapi keluarga aku gak sempet. Orang tua aku Cuma sempet ngobrol sama
Orang tua kamu. Aku gabisa. Maaf banget bi. Aku udah gabisa lagi nemenin kamu
di pohon itu. Kita udah gabisa lagi main kejar-kejaran di sawah itu. Dan kita
gabisa lagi berhubungan bi. Hubungan jarak jauh itu gak mungkin. Bekasi sama
Surabaya itu jauh. Maafin aku bi. Aku harap kamu tetep jadi Abi yang aku kenal.
Abi yang selalu berusaha kuat, yang sering ketawa berdua sama aku. Surat ini
aku bikin buat kamu aja bi. Kamu. Makasih banyak buat tahun-tahun yang menyenangkan
bersama kamu. Kamu udah ada dihati aku. Dan sampe kapanpun juga, aku bakal
tetep sayang sama kamu. Aku juga gak akan pacaran lagi kok di Surabaya. Haha.
Yaudah. Sampe ketemu lagi Abi. Mudah-mudahan aku sama kamu, suatu hari nanti,
bisa main lagi dibawah pohon jambu itu. Bye Abi. Aku sayang kamu.”
Saya
langsung menggenggam surat dari Mila. di bawah pohon itu, saya membayangkan
kembali masa-masa saya saat masih bermain bersama dia, tertawa bersama dia,
duduk berdua di pohon ini. namun, dari hari ini, tampaknya hanya saya
sendirian, yang duduk di pohon ini. memandangi langit. Tanpa ada Mila disamping
saya.
Dan
pohon itu sekarang sudah tiada. Sawah yang berada di depan perumahan saya telah
dibuat perumahan baru. Dan terakhir saya melihatnya, pohon itu sudah tak
berdiri kokoh dengan batangnya yang kuat. Berarti, sudah musnahlah semua
kenangan saya dengan Mila. Saya tak akan bisa bermain lagi bersama Mila di
pohon itu. Pohon itu sudah tinggal balok kayu dan akar yang tertancap di tanah.
Saya masih sering kesana, walaupun saat menyender di pohonnya, sudah tak
senyaman saat dulu. Sering kali juga saya dimarahi pekerja bangunan disana.
Saya sering diusir dari tempat itu. Dan setelah beberapa hari, saya melihat
pohon itu lagi, dan pohon itu sudah tak berbekas.
Namun
saya masih memegang janji Mila. dan saya pun juga berjanji takkan pacaran
dengan perempuan lain di SMP maupun SMA. Karena hati saya hanya untuk Mila. tak
ada yang bisa. Hingga sekarang, saya masih menunggunya kembali. Tapi, tampaknya
tak mungkin. Mungkin dia sudah bahagia di Surabaya. Di sekolah barunya.
Menemukan orang lain dan bermain bersamanya di sebuah pohon juga. Dan kelamaan,
saya melepaskan kenangan saya tentang Mila. Tapi tetap, hanya dia yang saya
sayangi. Untuk selamanya.
“Beuh.
Akhirnya selesai juga.” Kata saya sambil menyimpan tulisan saya di laptop yang
nantinya akan saya print.
(Alexander
Putra is calling…)
“Bay !
Gimana ? Kelar kagak ?” Tanya Alex.
“Alhamdulillah
kelar, lex. Makasih ya buat usulnya tadi.” Ucap saya ke Alex.
“Iya sama-sama
lah bay. Yaudah lu istirahat dulu aja. Gua Cuma mau tau kabar ente aja.” Kata
Alex. “Yaudah gua off duluan bay !” (Alexander Putra is off..)
Setelah
saya menyelesaikan tulisan saya. saya jadi kembali teringat Mila. Dan pohon
itu. Saya jadi ingin mengunjunginya lagi. Sudah lama sejak terakhir kelas 1 SMP
saya kesana. Saya jadi ingin melihat kembali keadaan tempat pohon itu pernah
berdiri.
Sesampainya
saya di perumahan itu, ternyata pohon jambu itu berdiri lagi. Ternyata akar
pohon itu masih belum tertebang dan pohon itu berdiri lagi di belakang rumah
seseorang. Saya bersyukur melihatnya. Walaupun tak tampak seperti dulu lagi,
namun pohon ini kembali berdiri, seiring saya kembali mengingat Mila lagi.
Di
sekolah, saya mendapat giliran pertama untuk maju ke depan membacakan cerita
yang sudah saya buat ke depan kelas.
“Abiyyu !
Mana Abiyyu ! Kamu maju ke depan. Bacakan cerita kamu.” Kata Guru saya. saya
langsung membawa kertas saya dan menceritakan panjang lebar apa yang sudah saya
tulis kemarin.
Akhirnya
cerita saya selesai. Kelas bertepuk tangan. Guru saya pun bertepuk tangan juga
mendengar cerita saya.
“Bener-bener
bagus Abiyyu. Ini cerita nyata ?” Tanya guru saya.
“Yaa
alhamdulillah nyata pak.” Jelas saya ke guru saya.
“Ciee
biyu.. Ternyata bisa cemburu juga.. hahaha.” Teriak Alex dari bangkunya. Satu
kelas tertawa mendengarnya. Saya hanya tersenyum memandangi kertas saya.
“Kalo mau,
surat dari Mila juga gua bawa kok. Nih.” Saya mengeluarkan surat dari Mila yang
5 tahun lalu dia tulis ke saya. saya membawanya untuk berjaga-jaga kalau mereka
ingin bukti. Dan setelah saya mengeluarkannya, murid-murid pun langsung
mengerubungi surat itu. Namun guru saya langsung menyuruh semuanya kembali ke
tempat duduk masing-masing.
“Yaudah
Abiyyu. Cerita kamu bagus sekali. Beri tepuk tangan sekali lagi buat Abiyyu.”
Kata guru saya. satu kelas bertepuk tangan meriah. “Oke Abiyyu, kamu boleh du…”
“Selamat
pagi, pak Kresno.” Wali kelas saya masuk ke kelas dan bersalaman dengan guru
saya.
“Selamat
pagi, bu Rita. Ada apa bu ?”
“Ada anak
baru, dia baru dateng jam segini. Maklum dia murid pindahan.” Kata Bu Rita.
Saya masih berdiri di depan kelas.
“Baik
silahkan bu.”
“Baik.
Anak-anak. Kelas kita kedatangan murid baru. Ibu berharap kalian bisa berteman
dengan dia, dan jaga sikap dengan dia. Terutama Alex dan Abiyyu. Kalian nih
badung kelas.” Kata Bu Rita. Satu kelas tertawa mendengarnya. “Baik. Nanti, ibu
panggilin dulu ya anaknya.”
Satu kelas
pun heran. Saya pun juga heran. Saya tak henti memandang kearah pintu. Bu Rita
membawa masuk murid baru itu.
Seketika,
semua kenangan tentang Mila yang sudah saya lepaskan, tentang pohon itu,
tentang kejar-kejaran, tentang semua hal yang sudah saya lakukan dengan Mila,
kembali teringat begitu melihat wajah murid baru yang melangkah masuk dibarengi
Bu Rita. Dia menatap saya. Tatapannya masih sama seperti tatapan saat dia
memandang saya di bawah pohon itu. Rambutnya masih panjang. Masih sama seperti
saat terakhir saya dan dia bertemu. Dia sudah agak tumbuh meninggi sekarang.
Seperti gadis SMA yang benar-benar cantik. Saya menatapnya tak berhenti. Begitu
juga satu kelas menatap kearah saya heran, juga ke murid baru itu. Dia juga
tampaknya terkejut melihat saya disini.
“Abi ?”
Kata murid baru itu. Dia tersenyum menatap saya.
“Mila ?” Kata saya seolah
tak ingin dia pergi lagi dari saya.
THE END.
Based
On The True Story.. Mungkin suatu hari nanti, kita bakal ketemu lagi. -Z.A.R
Authors by: Ardhika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Plz leave a like & comment :D