SELALU KLIK JUDUL SEBELUM BACA YEH


Minggu, 10 Agustus 2014

#Cerpen - Pohon Di Hari Itu

Pohon Di Hari Itu.

          Saya sedang mencoba menulis sebuah cerita dengan laptop saya untuk tugas Bahasa Indonesia di teras rumah saya. Rumah saya ada di sebuah jalan di suatu perumahan di Bekasi. Bisa dibilang, keadaan saya saat ini sangat ‘mumet’. Saya tak memiliki inspirasi apa-apa di otak saya ini. Padahal otak saya sudah menyerap soto daging buatan Ibu saya tadi siang. Namun serapan energinya masih belum bisa menggerakan otak saya untuk berfikir membuat sebuah cerita yang bagus.

          Saya membuka aplikasi ‘skype’ saya untuk melihat apakah ada teman
yang sedang online – hitung-hitung menunggu inspirasi datang atau mencontek karya dari teman. Ternyata banyak juga yang online. Saya mencoba video call dengan Alex. Teman satu kelas saya. Dia cukup pintar dalam membuat cerita.

          “Lex ! Sempet-sempetnya lu online. Tugas Bahasa udah kelar?”
          “Udah lah, bay. Gua liat-liat muka lu kayak orang yang lagi susah mikir. Bener gak tuh?” Kata Alex mengetahui perkara saya.
          “Duh dari tadi gua gak ada inspirasi mau buat cerita, lex. Lu enak otak lu encer kayak Cappucinno cincau.”
          “Mana cer? Nih gini aja, kalo lu gabisa dapet inspirasi dari otak lu, liat sekeliling lu. Pasti ada satu benda yang bersejarah dan punya cerita bay.”
          “Liat sekeliling gua ? teras rumah gua gak ada yang bisa dijadiin cerita, lex.”
          “Emang kata ‘sekeliling’ itu Cuma sepandangan lu aja ? banyak hal bay yang bisa lu jadiin cerita. Eh gua off yak. Nyokap nyuruh beliin telor di warung. Good luck, bay.”
          “Eh lex.” (Alexander Putra is Off now.)

          Saya langsung mencoba melihat ke segala tempat. Saya hanya melihat kompressor AC, rak sepatu dan sandal, kain pel bertuliskan ‘welcome’, hanya hal-hal tidak penting yang saya temukan. Bagaimana bisa saya membuat cerita dari hal-hal seperti itu? Akhirnya, saya menyenderkan kepala saya di kursi kayu di teras rumah saya. Saya mendongakkan kepala, lalu membayangkan sesuatu di langit.

          Kursi kayu terbuat dari kayu, kayu terbuat dari pohon, pohon, 11 tahun lalu, saya teringat satu hal dari pohon. Saya mencoba membuka Microsoft Word dan mulai menuangkan pikiran saya.

          Ini semua berawal dari 11 tahun lalu. Saya masihlah seorang bocah kecil, polos, dan tak tahu apa-apa. Pekerjaan saya tidak seperti sekarang ini, membuat tugas Bahasa, atau apalah. Pekerjaan saya saat itu begitu simpel. Yaitu bermain. Dan ada satu orang yang menjadi teman sepermainan saya. Namanya Mila. Dia anak perempuan yang tinggal di samping rumah saya, alias dia tetangga saya. Kami berdua pertama kali bertemu saat orangtuanya pindah ke perumahan kami, lalu orangtuanya dan dia datang kerumah saya untuk bersilahturahmi. Saya masih ingat, saya dan dia langsung cocok dan langsung bermain-main di depan rumah. Kami bermain kejar-kejaran layaknya bocah kecil, kami melihat ikan di got walau setelah itu kami dimarahi orangtua kami, dan kami sering berjalan-jalan ke lahan persawahan didepan perumahan kami, itupun kami harus menunggu orangtua kami tak melihat kami berdua. Satu tempat favorit kita berdua, yaitu  sebuah pohon jambu yang berdiri sendiri ditengah persawahan. Kami sering berada disana, bermain kejar-kejaran lagi di sawah, lalu beristirahat di pohon, memakan jambu dari pohon walaupun kami sering mendapati jambu yang tak matang. Namun kami bahagia saat itu, sangat bahagia.

        Saat saya sudah masuk kelas 1 SD, Mila juga bersekolah di sekolah yang sama dengan saya. Dan tentu saja, kita berdua bermain lagi. Kejar-kejaran lagi, bercanda-canda, saat itu dia adalah perempuan yang masih sangat lugu – saya pun juga demikian. Hingga sepulang sekolah pun, kami bermain lagi, di tempat biasa kami bermain. Di pohon itu.

        Namun suatu hari, Mila tidak masuk sekolah. Dia sakit. Saya menjenguknya setelah sepulang sekolah. Memang benar, dia sakit demam. Saya menungguinya dirumahnya, menghibur dia yang sedang terbaring lemah di tempat tidurnya, seperti tak ada lagi teman lain yang bisa saya ajak main, selain dia. Namun beberapa hari kemudian, Mila sembuh dan kami bisa bermain lagi.

        Waktu terus berjalan, dan saya semakin besar. Begitu pula Mila. Di kelas 4 SD, Mila sudah tumbuh berbeda. Rambutnya yang dulu pendek, kini telah panjang dan lurus. Wajahnya yang dulu lugu, kini sudah mulai seperti gadis remaja. Perubahan fisik Mila juga membuatnya dilirik anak cowok lain. Terkadang saya cemburu melihat dia sedang digoda oleh cowok-cowok itu.

        Namun kami tetap seperti biasa. Bermain setelah sepulang sekolah, pergi ke pohon seperti biasa, melihat langit berdua dibawah pohon jambu itu.

        “Ciee Mila sekarang udah ada yang deketin.” Kata saya ke Mila bermaksud menggodanya juga.
        “Ya gitu deh bi. Emang kenapa bi? Cemburu yaa?” Mila tertawa sambil menatap saya.
        “Huu apaan sih mil? Aku tuh temen kamu dari kecil.” Saya menahan rasa salah tingkah saya,
        “Ya siapa tau aja kamu suka juga sama aku.” Mila kembali tertawa terbahak-bahak. Wajah saya pun memerah. Saya hanya terdiam. “Kok diem, bi? Ciee Abi salah tingkah. Haha.”
        “Hah? Siapa yang salah tingkah? Aku diem ngeliatin ini tuh. Semut.” Ujar saya mengeles dari Mila.
        “Huu alesan.” Kata Mila. “Udah lama juga ya. Kita sering kesini. Pohonnya juga makin tinggi. Sawahnya juga makin luas.”
        “Iya mil.” Ucap saya sambil memandangi sekitar. “Tapi aku gak bosen kok mil. Gak akan bosen. Duduk disini, berdua, sama kamu terus.”
        “Kenapa kita harus bosen ?” Kata Mila sambil menatap saya tersenyum. Senyum itu membuat saya langsung sadar. Saya memiliki perasaan terhadap Mila. Tapi Mila teman saya dari kecil. Saya tak mungkin bisa jadi pacar atau siapapun itu. Andai pun saya suka dengan Mila, belum tentu Mila juga merasakan perasaan yang sama dengan saya.

        Dan itu terus berlanjut. Hingga kami kelas 6 SD. Satu hari, saya terkejut. Benar-benar terkejut. Saya mendengar kabar dari teman lain kalau, Mila pacaran dengan murid cowok di kelasnya. Namanya Irfan. Saya pun langsung mencari kepastian dari Mila. Dan saat kami kembali ke pohon itu, ternyata memang benar. Mila mengakuinya. Setelah itu, saya hanya terdiam di bawah pohon bersama dia.

        “Kenapa dari tadi kamu diem, bi ?” Tanya Mila ke saya. “Kita main kejar-kejaran lagi aja yuk ? yang kena, jaga. Kayak dulu lagi. Haha.” Kata Mila. Saya hanya terdiam. Memandang ke bawah.
        “Bi…? Kamu kenapa sih ?” Tanya Mila lagi. Kalau saya bisa, saya ingin berteriak, “Aku cemburu mil ! Aku cemburu ! Aku suka sama kamu ! Tapi aku takut nyatainnya !” Andai saya bisa seperti itu. Tapi tak mungkin. Akhirnya beberapa saat kemudian, Mila pergi dari pohon, meninggalkan saya duduk sendirian dibawah pohon itu. Saya hanya bisa memandangi rambutnya yang berkibas ditiup angin, pergi menjauhi saya.

        Lalu datang rasa menyesal. Harusnya saya tak seperti itu. Harusnya saya tetap menjadi teman dia, tetap bermain bersama dia, seperti biasanya. Bukannya saya terlarut dalam kecemburuan seperti ini. Saya langsung berlari menuju kerumahnya. Memanggil-manggil namanya. Namun hanya ibunya yang keluar.

        “Maaf tante, Mila-nya ada?”
        “Duh nak Abiyyu. Umm tadi Mila pulang kerumah sambil nangis. Terus dia masuk kekamarnya, ngunci diri. Tante tanyain, tapi Cuma kedengeran suara nangis gitu.” Kata Ibunya Mila.
        “Oh ya ampun. Tante, kalo Mila keluar, tolong sampein ke Mila, saya minta maaf. Maaf tante, Mila nangis gara-gara saya. Saya minta maaf tante. Dia ngajak saya main, tapi saya diemin dia. saya nyesel bu. saya minta maaf.”
        “Iya gapapa nak Abiyyu. Yaudah nanti tante sampein ke Mila kok.”
        “Makasih banyak tante.” Saya langsung pulang kerumah dan begitulah. Saya tak enak makan, saya hanya duduk di kasur kamar saya. Saya memikirkan Mila.

        Esoknya di sekolah, saya langsung menemui Mila di kelasnya. Saya mengucapkan minta maaf ke dia, di depan kelasnya. Namun dia malah pergi ke luar kelas dengan temannya, dan saya hanya mendapat teriakan ‘woo’ dari teman-temannya.

        Lalu, sekolah kami mengadakan Pariwisata ke kolam renang waterbom setelah ujian Nasional. Saya antusias sekali. Terlebih saya satu bus dengan Mila. Namun Mila duduk dengan Irfan. Saya hanya bisa duduk di belakang. Memperhatikan dia dari kejauhan.

        Di kolam renang, dia selalu berdua dengan Irfan. Irfan, Irfan dan Irfan. Tak ada kesempatan bagi saya untuk mendekati dia. kalaupun di hari dimana saya mengacuhkan dia waktu itu di pohon itu tidak terjadi, saya pasti sekarang sudah bermain bersama dia, bermain seluncuran, bermain siram-siraman air, namun sekali lagi, saya hanya bisa memperhatikan dia dari kejauhan. Memperhatikan dia yang sedang bermain air bersama Irfan.

        Sepulang dari kolam renang, langit menurunkan hujannya. Di bus, saya hanya bisa memperhatikan jalanan, tetesan air hujan yang turun meluncur di jendela bus, saya mengalami perasaan yang sama sekali membuat saya tak nyaman. Dan Mila, dia disana, bersama Irfan. Irfan lagi, lalu Irfan lagi.

        Lalu sesampainya di sekolah, Mila dijemput ayahnya dengan mobil.

        “Nak Abiyyu. Bareng sini sama om. ibu kamu udah nitip kok.” Kata Ayahnya Mila.
        “Makasih banyak om.” Saya langsung masuk kedalam mobil. Disana, Mila duduk di belakang memandangi jendela, seolah dia tak mau memandang saya.

        Beberapa saat kemudian, mobil berjalan. Sepanjang perjalanan, saya dan Mila hanya terdiam. Saya tak berani memandang Mila. Karena itu hanya membuat saya semakin menyesal. Lalu, mobil berhenti.

        “Sebentar ya. Om mau ngisi bensin dulu sekaligus ke kamar mandi. jagain Mila, nak Abiyyu.” Ayahnya Mila keluar dari mobil lalu mengurus bensin dan pergi ke kamar mandi.

        Di dalam mobil, suasananya hening. Benar-benar hening. Saya dan Mila masih terdiam. Tak ada satu pun yang berkata. Hingga akhirnya, saya sudah tak bisa menahan diri lagi.

        “Aku nyesel Mila. Nyesel banget.” Ucap saya. “Aku udah bodoh banget. Harusnya aku gak kayak gitu waktu kamu ngajak main di pohon itu. Aku terlalu kemakan sama rasa cemburu ke Irfan. Aku terlalu marah sama diri aku sendiri. Harusnya biarpun kamu pacaran sama Irfan, aku tetep ada disamping kamu, main sama kamu, lari-larian di sawah, harusnya.” Kata saya ke Mila. Mila menatap saya. “Harusnya aku gak nyakitin perasaan kamu. Aku nyesel banget sampe sekarang. Aku bakal beri semuanya, apapun yang aku punya, bakal aku kasih ke Tuhan, agar dia mau puter mundur waktunya, ke waktu dimana aku diemin kamu. Tapi aku gabisa. Aku gabisa mil. Aku pengecut. Aku bahkan dari dulu gak bisa bilang ke kamu kalo aku sayang sama kamu.”

        Mila menatap saya dengan tatapan terkejut. Dia seperti tak menyangka. “Kamu serius, bi ?” Kata Mila. Saya pun menatap matanya untuk pertama kalinya sejak kejadian di pohon itu. “Dari dulu bi ? Dari dulu ? Aku juga suka sama kamu dari dulu bi. Dari dulu. Setiap kali kita, dibawah pohon, berdua, aku ngerasain, kalo aku gamau pergi dari tempat itu. Tapi aku perempuan. Aku gabisa nyatain perasaan aku ke kamu. Aku Cuma mau main terus bi.. Main terus sama kamu. Sama kamu bi.. Tapi kamu gak pernah nyatain itu. Sampe Irfan datang. Dia cowok yang ideal, disukai cewek-cewek, tapi dia nembak aku. Aku nerima dia dengan terpaksa. Karena hati aku udah buat kamu, bi.”

        Di mobil itu, saya benar-benar menyesal. Harusnya, kalau saya memang sayang dengan Mila, saya harus menyatakannya, biarpun Mila akan menolak saya, tapi yang penting saya sudah menyatakannya ke Mila. Bukannya saya takut seperti waktu itu, takut jika Mila akan menolak saya, takut jika Mila akan berubah dan menjauhi saya. Dan di mobil itu, kita berdua membuka semua kartu kita. Hal-hal yang kita simpan rapat di kotak rahasia hati kita. Lalu Ayahnya Mila masuk ke mobil.

        “Tuh. Akhirnya kalian baikan juga kan. Gitu dong.” Kata Ayahnya Mila
        “Apaan sih ayah.. haha.” Mila tertawa sambil menatap saya.
        “Orang kita gak berantem kok om.” Kata saya ke Ayahnya Mila. Ayahnya hanya tertawa. Dan kami pun pulang kerumah masing-masing.

        Esoknya di sekolah, saya mendengar kabar kalau Irfan memutuskan Mila. Bukan Mila yang memutuskannya. Irfan sudah bosan dengan Mila, dan mendapatkan perempuan lain. Dan sepulang sekolah, kami kembali berdua di pohon jambu di tengah sawah, seperti biasa. Dia mencurahkan segala curhatannya ke saya tentang Irfan.

        “Kata dia sih, dia bosen sama aku. Aku gitu-gitu aja. Sekarang dia udah punya perempuan lain sih di kelas lain.” Curhat Mila ke saya.
        “Gitu-gitu aja? Alesan basi. Gaada alesan putus kayak gitu. Dia Cuma beralesan karena dia udah punya cewek lain yang bisa dia sayang.” Kata saya.
        “Bener juga sih, bi.” Kata Mila. “Bi…?” Mila menatap saya. saya membalas tatapannya juga. “Aku sayang kamu, bi.”
        “Aku juga sayang sama kamu, mil.” Ucap saya ke dia. Dan dihari itu, kami hanya duduk berdua, melihat langit sore, matahari terbenam di pematang sawah, lalu pulang kerumah.

        Setelah lulus SD, di hari minggu, saat makan siang, saya mendapat kabar mengejutkan dari ayah saya.

        “Ayahnya Mila mendapat pekerjaan di Surabaya. Dia bilang, keluarganya bakal tinggal juga disana.” Kata Ayah saya.
        “Keluarganya ? Berarti Mila juga ?” Tanya saya kaget.
        “Iya bi. Mila juga katanya bakal sekolah disana. Mereka udah berangkat kok tadi pagi.”
        “Berangkat ? Tadi pagi ?!”
        “Iya. Mereka berangkat pagi lah. Biar gak kena macet. Ayah sama Ibu sempet keluar ngucapin salam ke mereka. Tapi ayah gak sempet bangunin kamu. pules banget sih tidurnya. Haha. Emang kenapa sih bi ? kamu kok jadi, kaget gitu.” Kata Ayah saya.
        “Ya teman kecil dia kan udah gak tinggal disini lagi yah. Pasti dia kecewa lah.” Kata Ibu saya.
        “Bu, yah, aku keluar dulu.” Saya langsung berlari keluar rumah dan menuju ke rumah Mila.

        Ternyata benar. Rumah Mila sudah kosong. Sudah tak ada lagi tanda-tanda orang yang tinggal disana. Saya langsung terduduk jongkok di depan rumahnya. Putus asa. Baru saja saya dan Mila berhubungan. Sekarang Mila meninggalkan saya, tanpa mengucapkan selamat tinggal ke saya. Saya meneteskan air mata didepan rumahnya. Saya memegang gerbang rumahnya. Menyebut nama dia.

        Namun saya menemukan sebuah kertas tertaruh di sela-sela fiber gerbang. Kertas itu bertuliskan “untuk Bi..”. Pasti ini Mila. Karena saya malas kembali ke rumah, saya membawa kertas itu ke pohon jambu di tengah sawah.

        “Bi. Maaf ya. Aku harusnya ngucapin selamat tinggal dulu waktu malem sebelum aku berangkat. Tapi keluarga aku gak sempet. Orang tua aku Cuma sempet ngobrol sama Orang tua kamu. Aku gabisa. Maaf banget bi. Aku udah gabisa lagi nemenin kamu di pohon itu. Kita udah gabisa lagi main kejar-kejaran di sawah itu. Dan kita gabisa lagi berhubungan bi. Hubungan jarak jauh itu gak mungkin. Bekasi sama Surabaya itu jauh. Maafin aku bi. Aku harap kamu tetep jadi Abi yang aku kenal. Abi yang selalu berusaha kuat, yang sering ketawa berdua sama aku. Surat ini aku bikin buat kamu aja bi. Kamu. Makasih banyak buat tahun-tahun yang menyenangkan bersama kamu. Kamu udah ada dihati aku. Dan sampe kapanpun juga, aku bakal tetep sayang sama kamu. Aku juga gak akan pacaran lagi kok di Surabaya. Haha. Yaudah. Sampe ketemu lagi Abi. Mudah-mudahan aku sama kamu, suatu hari nanti, bisa main lagi dibawah pohon jambu itu. Bye Abi. Aku sayang kamu.”

        Saya langsung menggenggam surat dari Mila. di bawah pohon itu, saya membayangkan kembali masa-masa saya saat masih bermain bersama dia, tertawa bersama dia, duduk berdua di pohon ini. namun, dari hari ini, tampaknya hanya saya sendirian, yang duduk di pohon ini. memandangi langit. Tanpa ada Mila disamping saya.

        Dan pohon itu sekarang sudah tiada. Sawah yang berada di depan perumahan saya telah dibuat perumahan baru. Dan terakhir saya melihatnya, pohon itu sudah tak berdiri kokoh dengan batangnya yang kuat. Berarti, sudah musnahlah semua kenangan saya dengan Mila. Saya tak akan bisa bermain lagi bersama Mila di pohon itu. Pohon itu sudah tinggal balok kayu dan akar yang tertancap di tanah. Saya masih sering kesana, walaupun saat menyender di pohonnya, sudah tak senyaman saat dulu. Sering kali juga saya dimarahi pekerja bangunan disana. Saya sering diusir dari tempat itu. Dan setelah beberapa hari, saya melihat pohon itu lagi, dan pohon itu sudah tak berbekas.

        Namun saya masih memegang janji Mila. dan saya pun juga berjanji takkan pacaran dengan perempuan lain di SMP maupun SMA. Karena hati saya hanya untuk Mila. tak ada yang bisa. Hingga sekarang, saya masih menunggunya kembali. Tapi, tampaknya tak mungkin. Mungkin dia sudah bahagia di Surabaya. Di sekolah barunya. Menemukan orang lain dan bermain bersamanya di sebuah pohon juga. Dan kelamaan, saya melepaskan kenangan saya tentang Mila. Tapi tetap, hanya dia yang saya sayangi. Untuk selamanya.

        Beuh. Akhirnya selesai juga.” Kata saya sambil menyimpan tulisan saya di laptop yang nantinya akan saya print.
          (Alexander Putra is calling…)
          “Bay ! Gimana ? Kelar kagak ?” Tanya Alex.
          “Alhamdulillah kelar, lex. Makasih ya buat usulnya tadi.” Ucap saya ke Alex.
          “Iya sama-sama lah bay. Yaudah lu istirahat dulu aja. Gua Cuma mau tau kabar ente aja.” Kata Alex. “Yaudah gua off duluan bay !” (Alexander Putra is off..)

          Setelah saya menyelesaikan tulisan saya. saya jadi kembali teringat Mila. Dan pohon itu. Saya jadi ingin mengunjunginya lagi. Sudah lama sejak terakhir kelas 1 SMP saya kesana. Saya jadi ingin melihat kembali keadaan tempat pohon itu pernah berdiri.

          Sesampainya saya di perumahan itu, ternyata pohon jambu itu berdiri lagi. Ternyata akar pohon itu masih belum tertebang dan pohon itu berdiri lagi di belakang rumah seseorang. Saya bersyukur melihatnya. Walaupun tak tampak seperti dulu lagi, namun pohon ini kembali berdiri, seiring saya kembali mengingat Mila lagi.

          Di sekolah, saya mendapat giliran pertama untuk maju ke depan membacakan cerita yang sudah saya buat ke depan kelas.

          “Abiyyu ! Mana Abiyyu ! Kamu maju ke depan. Bacakan cerita kamu.” Kata Guru saya. saya langsung membawa kertas saya dan menceritakan panjang lebar apa yang sudah saya tulis kemarin.
          Akhirnya cerita saya selesai. Kelas bertepuk tangan. Guru saya pun bertepuk tangan juga mendengar cerita saya.
          “Bener-bener bagus Abiyyu. Ini cerita nyata ?” Tanya guru saya.
          “Yaa alhamdulillah nyata pak.” Jelas saya ke guru saya.
          “Ciee biyu.. Ternyata bisa cemburu juga.. hahaha.” Teriak Alex dari bangkunya. Satu kelas tertawa mendengarnya. Saya hanya tersenyum memandangi kertas saya.
          “Kalo mau, surat dari Mila juga gua bawa kok. Nih.” Saya mengeluarkan surat dari Mila yang 5 tahun lalu dia tulis ke saya. saya membawanya untuk berjaga-jaga kalau mereka ingin bukti. Dan setelah saya mengeluarkannya, murid-murid pun langsung mengerubungi surat itu. Namun guru saya langsung menyuruh semuanya kembali ke tempat duduk masing-masing.
          “Yaudah Abiyyu. Cerita kamu bagus sekali. Beri tepuk tangan sekali lagi buat Abiyyu.” Kata guru saya. satu kelas bertepuk tangan meriah. “Oke Abiyyu, kamu boleh du…”
          “Selamat pagi, pak Kresno.” Wali kelas saya masuk ke kelas dan bersalaman dengan guru saya.
          “Selamat pagi, bu Rita. Ada apa bu ?”
          “Ada anak baru, dia baru dateng jam segini. Maklum dia murid pindahan.” Kata Bu Rita. Saya masih berdiri di depan kelas.
          “Baik silahkan bu.”
          “Baik. Anak-anak. Kelas kita kedatangan murid baru. Ibu berharap kalian bisa berteman dengan dia, dan jaga sikap dengan dia. Terutama Alex dan Abiyyu. Kalian nih badung kelas.” Kata Bu Rita. Satu kelas tertawa mendengarnya. “Baik. Nanti, ibu panggilin dulu ya anaknya.”

          Satu kelas pun heran. Saya pun juga heran. Saya tak henti memandang kearah pintu. Bu Rita membawa masuk murid baru itu.

          Seketika, semua kenangan tentang Mila yang sudah saya lepaskan, tentang pohon itu, tentang kejar-kejaran, tentang semua hal yang sudah saya lakukan dengan Mila, kembali teringat begitu melihat wajah murid baru yang melangkah masuk dibarengi Bu Rita. Dia menatap saya. Tatapannya masih sama seperti tatapan saat dia memandang saya di bawah pohon itu. Rambutnya masih panjang. Masih sama seperti saat terakhir saya dan dia bertemu. Dia sudah agak tumbuh meninggi sekarang. Seperti gadis SMA yang benar-benar cantik. Saya menatapnya tak berhenti. Begitu juga satu kelas menatap kearah saya heran, juga ke murid baru itu. Dia juga tampaknya terkejut melihat saya disini.

          “Abi ?” Kata murid baru itu. Dia tersenyum menatap saya.
         
          “Mila ?” Kata saya seolah tak ingin dia pergi lagi dari saya.

THE END.

Based On The True Story.. Mungkin suatu hari nanti, kita bakal ketemu lagi. -Z.A.R

Authors by: Ardhika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Plz leave a like & comment :D